Nus, Sampaikan Pamitku Ya!
Katanya ada hal yang lebih menyakitkan dari cinta sepihak yang tak tersampaikan, yaitu perpisahan tanpa ada kata selamat tinggal. Lalu bagaimana bisa kita tahu telah terjadi perpisahan? Ah, hati manusia memang ajaib, hati dirancang Allah dengan mekanisme yang tak bisa dijelaskan hanya melalui teori. Ketika kita mendengar sesuatu entah menyakitkan atau membahagiakan, maka yang merasakan adalah hati.Ketika kita melihat sesuatu entah itu indah maupun buruk hatilah yang menilai. Dan hati begitu peka terhadap sekitar. Mungkin itu sebabnya ketika orang lain yang tidak peka, mereka dikatai sebagai seorang yang tak memiliki hati, tak punya perasaan. Meski sebenarnya yang tahu dan paham tentang hatinya adalah orang itu sendiri, terlepas peka atau tidaknya. Bukankah kepedulian tak melulu soal menunjukkan? Ah baiklah, kita lewati pembahasan yang ini.
Perpisahan selalu saja menyakitkan, sebahagia apapun perayaaannya. Setegar apapun kita melepaskan, perpisahan akan selalu menyisakan kerinduan dari setiap kebersamaan. Entah kebersamaan itu memang kau lalui bersama, atau hanya dirimu sendiri tapi ada sosoknya yang ikut terlibat di dalamnya. Well, bagian ini lebih menyesakkan, kau menganggap sesuatu istimewa tapi baginya biasa saja. Kita mulai merajut harapan, suatu hari bisa bertemu lagi, entah sengaja atau dengan bantuan semesta yang kita sebut sebagai takdir.
Perpisahan selalu menjadi akhir dari satu pertemuan, dan awal untuk pertemuan yang lain. Pembeda dari pertemuan itu adalah sosok yang hadir, rasa yang ada, dan tentu saja kamu dengan hatimu. Apakah kamu dan hatimu masih utuh tak terbawa perpisahan? Siap membuka diri bagi pertemuan yang baru? Atau jangan-jangan hatimu bahkan dirimu terbawa oleh senyum kepergiannya, dan kamu tinggallah sendiri tanpa hati. Jangankan membuka diri untuk sosok yang baru, melirik mereka pun kau tak kan mampu. Karena apa? Badanmu masih mengarah ke belakang. Kau menabrak sana sini karena kau berjalan mundur menuju depan. Susah sekali kan? Berjalan normal saja kau limbung, lalu bagaimana bisa bertahan dengan berjalan mundur seperti itu? Kau sedang merasakannya? Jangan khawatir, aku juga.
Setiap perpisahan seharusnya disertai kalimat "selamat tinggal" dan lebih bagus lagi "sampai jumpa lagi". Lalu bagaimana jika perpisahan itu tanpa ada embel-embel kalimat tadi? Ada dua opsi, pertama: kau sangat istimewa untuknya, karena dia tak sanggup melihatmu sedih atas kepergiannya dia berlalu begitu saja. Yang kedua: kau bukan siapa-siapa baginya, karena itu tak ada pemberitahuan bahwa dia akan pergi. Kalian yang manakah? Aku? Mungkin opsi kedua. Ah, tapi bagaimana kalau kita membuat opsi lain, yaitu dia tak tak tahu bagaimana perasaanmu sehingga dia tak bisa bersikap. Cukup adil. Memang para pecundang perasaan, haru siap menerima hal-hal tak terduga seperti perpisahan yang tak ada kata pamit.
Lalu bagaimana kau tahu telah terjadi perpisahan? Gampang. Kau tak melihatnya lagi, dia hilang dan tak kau temukan dia di manapun kamu berada. Mungkin saja ada kabar berita terbawa angin bahwa dia telah pergi. Apa yang kau lakukan? Haruskah kau yang melangkah terlebih dulu untuk mengatakan selamat tinggal, atau menunggunya berkirim pesan? Atau mungkin membiarkan segalanya terbawa waktu sampai waktu yang menjawab semua tanyamu tentangnya dan kepergiannya. Dan pada akhirnya saat tulisan ini aku tulis, aku sedang merelakan kepergian seseorang yang berkata tak akan pergi tapi akhirnya dia pergi. Aku bisa apa? Ketika dia ingin mewujudkan mimpi besar dalam hidupnya, dan tak ada aku dalam mimpi itu? Aku bisa apa ketika kepergiannya adalah hal terbaik yang membuatnya bahagia? Aku bisa apa ketika semua yang aku rasakan, bisa kubagi hanya dengan bayanganku yang hilang saat gelap datang, bayangan yang retak pada cermin yang pecah. Kepergiannya membuatku sedikit sedih, tidak terluka atau kecewa, karena pada awal cerita dimulai aku tahu tak ada happy ending dalam kisah ini. Aku pasrah atas skenario cerita dari Sang Sutradara, meski memang berharap ada episode selanjutnya tapi Dia menuliskan tamat. Aku terima. Aku merelakan semua kisah berakhir di sini, tanpa kepastian dan kejelasan perasaan satu sama lain.
Dan akhirnya aku yang lebih dulu mengucapkan "selamat tinggal" meski melalui media ini dan tentu orang yang dimaksud tak tahu. Aku berharap semoga kita tidak bertemu lagi. Aku tahu, tak ada aku dalam setiap waktu yang kau lewati. Aku akan semakin tergeser dari daftar prioritasmu. Sebelum semua menjadi-jadi, cukuplah sampai di sini semua imaji.
Semoga Allah selalu melindungi kalian para penerima kado yang gagal. :)
Perpisahan selalu saja menyakitkan, sebahagia apapun perayaaannya. Setegar apapun kita melepaskan, perpisahan akan selalu menyisakan kerinduan dari setiap kebersamaan. Entah kebersamaan itu memang kau lalui bersama, atau hanya dirimu sendiri tapi ada sosoknya yang ikut terlibat di dalamnya. Well, bagian ini lebih menyesakkan, kau menganggap sesuatu istimewa tapi baginya biasa saja. Kita mulai merajut harapan, suatu hari bisa bertemu lagi, entah sengaja atau dengan bantuan semesta yang kita sebut sebagai takdir.
Perpisahan selalu menjadi akhir dari satu pertemuan, dan awal untuk pertemuan yang lain. Pembeda dari pertemuan itu adalah sosok yang hadir, rasa yang ada, dan tentu saja kamu dengan hatimu. Apakah kamu dan hatimu masih utuh tak terbawa perpisahan? Siap membuka diri bagi pertemuan yang baru? Atau jangan-jangan hatimu bahkan dirimu terbawa oleh senyum kepergiannya, dan kamu tinggallah sendiri tanpa hati. Jangankan membuka diri untuk sosok yang baru, melirik mereka pun kau tak kan mampu. Karena apa? Badanmu masih mengarah ke belakang. Kau menabrak sana sini karena kau berjalan mundur menuju depan. Susah sekali kan? Berjalan normal saja kau limbung, lalu bagaimana bisa bertahan dengan berjalan mundur seperti itu? Kau sedang merasakannya? Jangan khawatir, aku juga.
Setiap perpisahan seharusnya disertai kalimat "selamat tinggal" dan lebih bagus lagi "sampai jumpa lagi". Lalu bagaimana jika perpisahan itu tanpa ada embel-embel kalimat tadi? Ada dua opsi, pertama: kau sangat istimewa untuknya, karena dia tak sanggup melihatmu sedih atas kepergiannya dia berlalu begitu saja. Yang kedua: kau bukan siapa-siapa baginya, karena itu tak ada pemberitahuan bahwa dia akan pergi. Kalian yang manakah? Aku? Mungkin opsi kedua. Ah, tapi bagaimana kalau kita membuat opsi lain, yaitu dia tak tak tahu bagaimana perasaanmu sehingga dia tak bisa bersikap. Cukup adil. Memang para pecundang perasaan, haru siap menerima hal-hal tak terduga seperti perpisahan yang tak ada kata pamit.
Lalu bagaimana kau tahu telah terjadi perpisahan? Gampang. Kau tak melihatnya lagi, dia hilang dan tak kau temukan dia di manapun kamu berada. Mungkin saja ada kabar berita terbawa angin bahwa dia telah pergi. Apa yang kau lakukan? Haruskah kau yang melangkah terlebih dulu untuk mengatakan selamat tinggal, atau menunggunya berkirim pesan? Atau mungkin membiarkan segalanya terbawa waktu sampai waktu yang menjawab semua tanyamu tentangnya dan kepergiannya. Dan pada akhirnya saat tulisan ini aku tulis, aku sedang merelakan kepergian seseorang yang berkata tak akan pergi tapi akhirnya dia pergi. Aku bisa apa? Ketika dia ingin mewujudkan mimpi besar dalam hidupnya, dan tak ada aku dalam mimpi itu? Aku bisa apa ketika kepergiannya adalah hal terbaik yang membuatnya bahagia? Aku bisa apa ketika semua yang aku rasakan, bisa kubagi hanya dengan bayanganku yang hilang saat gelap datang, bayangan yang retak pada cermin yang pecah. Kepergiannya membuatku sedikit sedih, tidak terluka atau kecewa, karena pada awal cerita dimulai aku tahu tak ada happy ending dalam kisah ini. Aku pasrah atas skenario cerita dari Sang Sutradara, meski memang berharap ada episode selanjutnya tapi Dia menuliskan tamat. Aku terima. Aku merelakan semua kisah berakhir di sini, tanpa kepastian dan kejelasan perasaan satu sama lain.
Dan akhirnya aku yang lebih dulu mengucapkan "selamat tinggal" meski melalui media ini dan tentu orang yang dimaksud tak tahu. Aku berharap semoga kita tidak bertemu lagi. Aku tahu, tak ada aku dalam setiap waktu yang kau lewati. Aku akan semakin tergeser dari daftar prioritasmu. Sebelum semua menjadi-jadi, cukuplah sampai di sini semua imaji.
Semoga Allah selalu melindungi kalian para penerima kado yang gagal. :)
Komentar
Posting Komentar