(Me)ndung di Langit Kelabu (baca:kalbu)

Bukankah kesibukan bisa membuat kerinduan terbunuh? Lalu mengapa bahkan dalam setiap kesibukan, perpisahan itu semakin nyata dan menjadi-jadi. Bayang perpisahan itu selalu mengikuti. Seperti bayangan diri yang begitu nyata dalam hari. Saat becermin pun ada bayangan perpisahan itu.

Hari ini aku melukai kakiku sendiri, tak sengaja memang, piring kaca itu jatuh tersenggol lalu pecah mengenai kakiku. Sakit? Ah, tak ada rasanya. Aku tahu kakiku terluka karena darahnya tercecer. Aku hanya menatap kakiku sendu. Mungkin ini yang namanya merasa sendirian dalam keramaian, dan merasa kesepian dalam kesendirian. Aku tak merasakan sakit dari goresan serpihan piring kaca,  karena luka di dada lebih dalam dan lebih parah.

Hari ini waktu berlalu begitu lambat. Seperti satu detik menjadi puluhan detik lamanya. Menghitung setiap menit yang berubah menjadi jam. Entah bagaimana, rasanya ada air garam tersiram pada lukaku yang hampir sembuh. Baru saja aku berusaha tegar akan sebuah pelepasan, datang perpisahan sebagai kejutan. Ya, aku sudah mengatakan pasrah tentang kisah perasaan, tapi masih saja rasa sedih itu ada. Katanya, setiap orang bisa merelakan tapi belum tentu mengikhlaskan. Saat ini mungkin belum sampai pada level ikhlas itu.

Aku seperti terperosok ke dalam lubang yang kugali sendiri. Aku yang meminta untuk dijauhkan, aku yang ingin tak dekat lagi dengannya. Tapi, ketika semua harapan itu terkabul, aku menangis. Ternyata betapapun engkau tak suka akan sebuah hadiah, saat hadiah itu hilang kau akan sedih, karena pada nyatanya setiap pemberian adalah sesuatu yang istimewa. Sama halnya aku yang tak suka coklat tapi diberikan coklat, aku menolaknya kemudian coklat itu dimakan oleh orang lain, lalu aku marah. Serakah bukan? Ya sangat serakah, egois dan munafik.

Berapa kali sudah hal in terjadi, tenyata tak mampu hati terkendali. Patah kian bertambah, luka semakin parah, sedih pun mewabah. Aku kalah, atau mungkin mengalah, aku sudah pasrah dari awal kisah. Ketika semua musnah, tak ada lagi kasih dalam kisah. Dia pergi, benar-benar pergi. Meski kali ini dia ucap pamit, aku jadi orang ke sekian yang terlambat.

Terlambat menyadari, bahwa sepi itu pernah teratasi karena dia ada, benar-benar ada. Sekarang, aku tak boleh menyesali yang telah terjadi. Ya, mungkin dia hadir karena alasan ini. Alasan bahwa ketika seseorang mengulurkan tangannya ingin membantumu, itu pertanda dia telah putus asa melihatmu sengsara, yang harus kau lakukan adalah sambut uluran tangan itu, ikutilah langkahnya, selama dia menggenggam tanganmu tak ada yang perlu kau khawatirkan.

Meski jatuh ke jurang terjal, dia akan bersamamu. Saat kau ingin berhenti karena kelelahan, dia akan menunggunu. Saat kau jatuh tersandung, dia akan menarikmu bangun. Ingat, selama tangannya masih memegang tanganmu erat. Jika genggamannya terlepas, itu artinya kau bebas. Dan cerita berakhir saat yang kau rasakan hanya angin dalam genggamanmu.

Tak ada kasih dalam kisah. Tak ada harapan dalam penantian. Tak ada uluran tangan, apalagi genggaman. Dan semoga tak ada kerinduan selepas perpisahan. Hari ini aku membiarkan kenangan menelanku dan menarikku dalam lingkarannya yang menyedihkan. Tapi esok saat pagi menjemput, semoga kau luput dalam secangkir kopi panas yang sengaja aku seruput untuk hanyut dalam waktu yang menggilas rinduku, padamu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Besok Aku Mati~

Mempercayai atau Dipercaya?

Cinta Ala Zulaikha