Cerita Aku Si Mahasiswi Psikologi #Part 2

Psikolog dan Stigma

Assalamualaikum. Kembali lagi dengan saya si pemilik blog ini. Apa kabar pemirsa? Duh tulisan ini ditulis, saat lagi pening mengerjakan tugas akhir, tidak jauh-jauh dari proposal, laporan, kasus, jurnal dan lainnya. Mahasiswa psikologi memang senang dengan masalah ya, bahkan sering cari masalah loh, bukan buat dikepoin doang ya tapi dicari bagiamana jalan keluarnya. (Jadi kamu masih gak percaya kalau mahasiswa psikologi itu mantu idaman banget?)
Kali ini mau bahas Psikolog dan Stigma. Tau kan ya Stigma apa? Stigma disini bukan judul lagunya V BTS loh guys. Jadi Stigma itu adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karna pengaruh lingkungannya; tanda yang diberikan oleh orang di sekitar kepada seseorang atau bisa jadi kelompok.

Hubungannya sama pembahasan sekarang apa? Nah tau gak orang-orang gak mau konsultasi ke Psikolog itu kenapa? Kebanyakan takut sama stigma masyarakat yang kalo konsultasi ke Psikolog artinya kamu "bermasalah". Come on. Siapa sih di dunia ini yang gak bermasalah? Siapa? Pasti punya, kalau gak punya justru harus cek lagi. Di psikologi positif kami belajar, bahwa emosi negatif tidak selamanya buruk, karena kalau kita selalu senang itu bisa jadi masalah. Harus seimbang. Masak kamu mau dibunuh senyum dan legowo? Kan gak ya. Ada defense, marah, dan lain-lain.

Jadi orang datang ke psikolog mereka itu adalah orang hebat, mereka sadar sedang dalam suatu hal dan mau mencari bagaimana cara mengatasinya. Percaya deh, memendam dan terus-menerus menekan emosi yang sebenarnya bisa berbahaya. Salah satu tanda kita sehat mental adalah ketika kita bisa bereaksi sesuai dengan emosi yang dirasakan, misalkan sedih ya nangis, marah ya marah, bahagia ya tertawa, hidup ini sebenarnya sederhana tapi kita saja yang suka buat rumit. Pura-pura sesekali boleh, tapi kalau itu jadi bagian dari hidup, dilakukan terus menerus bisa patologi nanti.

Katanya konsultasi ke Psikolog itu mahal banget padahal cuma ngomong doang. Dear, kalau tahu gimana kami belajar untuk lulus sarjana saja mesti berdarah-darah, bukan fisik tapi mental kami harus lebih keras dari baja lebih tegar dari karang di lautan (nah jadi berpuisi). Ngomongnya itu pake ilmu bukan sekedar tebak menebak ya. Kadang di saat tertentu saya bertanya sama diri sendiri "Serius jadi Psikolog nanti? Kamu siap? Kamu gak salah jalan kan? Kamu emangnya cocok?"  Beberapa kali ketika saya melayani orang curhat, sambil baca curhatan orang saya menangis sesenggukan (yang curhat mungkin lebih keras nangisnya atau karena sudah terbiasa ia tidak menangis) tapi setelah itu yang curhat katanya lega dan lebih ringan, rasanya senang banget. Hal itu yang pengen saya rasain terus, kebahagiaan ketika bisa melakukan sesuatu hal yang bermanfaat bukan hanya untuk diri tapi juga orang lain, nah ini di psikologi positif masuk kebermaknaan hidup.

Untuk lebih jelasnya untuk mendengarkan dan berbicara kepada klien itu tidak sembarang bicara, ada cara tertentu yang mesti dikuasai, dan bukan hanya sekedar teori di kelas tok, kami banyak praktikum, turun lapangan ke desa, sekolah, lingkungan kampus (makanan sehari-hari), belajar tes ini itu, ikut pelatihan dan seminar. Coba deh pikirkan kalau kami hanya bermodalkan omongan saja, maka senua orang di sekitar kita bisa dong jadi tempat konsultasi? Nyatanya semua orang bisa bicara, tapi tidak semua orang mau mendengarkan dengan hati tanpa menilai. Sedangkan kami dididik untuk mendengarkan apapun keluh kesah dan masalah orang-orang dengan empati, penerimaan tanpa syarat, tidak menilai apalagi menghakimi siapapun yang datang kepada kami. Point pentingnya kami nanti memfasilitasi bagaimana orang yang datang kepada kami menemukan pemecahan masalah mereka, karena kami percaya setiap manusia itu memiliki kemampuan dan setiap pribadi adalah unik. (Duhh efek praktikum intervensi helping skill)

Btw saya sudah melayani orang curhat dari masalah keluarga, perkawinan, hubungan percintaan, masalah anak dll. Saya sadar sih hubungan percintaan saya tidak baik-baik sekali, belum nikah, punya anak juga belum, dan semua yang dicurhati oleh orang ke saya berbeda dengan yang saya alami. Tapi uniknya kan disitu, saya punya teorinya mereka punya pengalamannya, dan sama seperti mereka yang memiliki masalah berat saya juga pernah mengalaminya. Bukannya hanya orang yang pernah menangis yang bisa menghapus air mata orang lain? Thats why saya bersyukur sekali pernah patah hati, gagal, memiliki pengalaman yang menyakitkah, bahkan sampai trauma pernah, phobia dan juga bermacam-macam emosi dan pengalaman lainnya. Itu yang saya jadikan untuk self disclosure.

Saya senang mereka mau berbagi dengan saya, karena  dari cerita mereka saya banyak  bercermin dan diingatkan tentang kehidupan. Saya sekarang sangat bersyukur belajar psikologi, dengan begitu bisa menjadi seseorang yang lebih menghargai dan mendengarkan sekitar. Nanti semoga saya bisa menjadi Psikolog yang diridhoi Allah. Sekarang jadi tempat curhat aja dulu nanti bisalah ya buku Biro Layanan Psikologi sendiri. 😂

Salam hormat
Gadis yang sedang berjuang dengan tugas akhir

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Besok Aku Mati~

Mempercayai atau Dipercaya?

Cinta Ala Zulaikha