Mengeja Ikhlas

Ikhlas. Satu kata yang sangat bermakna. Teka-teki paling rumit dan labirin paling pelik. Mengapa? Karena ikhlas masih dipertanyakan, entah saat berkata "aku ikhlas" orang akan menimpali, kalau ikhlas ya tak mesti bilang. Namun, saat kita diam pun masih jadi pertanyaan, "ikhlas gak nih?". Tapi aku sepakat, bahwa ikhlas itu seperti surah Al Ikhlas, yang tak pernah menyebut kata ikhlas di dalamnya.

Ikhlas. Satu kata yang mampu mengangkat luka dalam duka. Menyembuhkan parah dalam perih. Membalut derita menjadi bahagia. Mengubah lara menjadi lega.

Ikhlas. Seringkali terlupakan, bahkan tak dimunculkan. Kita lebih suka meraba-raba dengan segala prasangka. Menebak-nebak jalan cerita dengan curiga. Menerka-nerka panah takdir dengan cibir.

Ikhlas. Aku sungguh masih mengeja setiap susunannya. Betapa dekatnya ikhlas dengan lepas. Betapa tak tahunya kita, bahwa ikhlas ada dalam helaan nafas. Coba bayangkan jika kita tak mau bernafas? Apakah kita masih bisa melihat terik matahari yang panas?

Kita selalu ingin bernafas. Jika bisa, selamanya. Tapi nyatanya, dunia hanyalah persinggahan sementara. Kita para musafir yang kapan saja harus siap berakhir. Pulang pada liang. Melanjutkan perjalanan yang lebih menegangkan. Mempertanggungjawabkan segala perbuatan. Lalu aku masih saja sibuk dengan urusan duniawi yang pada nyatanya sungguh tak abadi. Aku akan mati. Sendiri.

Ikhlas. Begitu lekat pada kisah naas. Padahal, ikhlas bisa dilakukan pada saat tak ada cemas. Saat endorphin meningkat, hingga kita bisa tersenyum tanpa dicegat. Ikhlas dalam bersyukur, entah bersyukur karena datangnya bahagia atau nestapa. Nestapa perlu disyukuri karena setidaknya kita bisa merasakan sakit, yang membuat kita ingat pada Dia. Bahwa sejatinya  segala yang ada pada kita hanyalah karena kemurahan Dia. Tapi apa yang terjadi? Bukannya bersyukur, aku malah sering kufur. Aku lupa suatu saat akan masuk kubur, dan semua yang pernah kumiliki (sejatinya tak pernah kumiliki;hanya titipan, pemberian-Nya) akan kabur.

Aku sungguh sadar, bahwa ikhlas haruslah jadi radar. Penuntun saat datang keterpurukan. Pemandu saat ada peristiwa mengharu sendu. Pereda saat luka kembali menganga, entah terbuka dengan sendirinya atau sengaja kusibak pembalutnya. Ikhlas adalah satu-satunya cara agar semua yang terasa memberatkan langkah menjadi ringan meski patah. Senjata, saat takdir merenggut sebuah hadir, hingga leher tak lagi terkilir karena sebuah kisah yang harus berakhir,di masa yang lalu saat dulu menjadi yang paling dirindu.

Ikhlas yang baru saja kueja, masih patah-patah, terbata-bata, dan tergagap-gagap. Hanya dengan kata ikhlas, yang lepas menjadi begitu melegakan, hanya dengan ikhlas yang pergi dapat dikembalikan. Aku belajar untuk tidak memaksakan cerita, karena kutahu ketika aku mencoba ikut campur pada sesuatu yang sudah diatur, aku bisa membuatnya berantakan dan aku bisa meretakkan harapan yang kubuat sendirian. Tercekik oleh pikiranku yang picik. Berharap pada anganku yang belum tentu terealisasikan olehku.

Ikhlas. Rahasia dalam rahasia. Hanya Dia Yang Maha Segalanya yang berhak dan mampu menilainya. Sungguh, dengan kesadaran penuh, ketika tulisan tentang ikhlas ini aku tulis, aku sedang bertanya-tanya pada diriku sendiri. Sudahkah aku ikhlas? Lalu seberapa ikhlas kah aku menerima takdir-Nya? Ah, rasanya aku masih sangat jauh dari kata ikhlas itu. Saat ini aku hanya bisa mengeja ikhlas dalam lepas. Belum bisa membacanya dengan lamat, apalagi tamat dari ujian ikhlas.

Sungguh, aku belum mampu menyentuh ikhlas dalam arti sebenarnya. Karena hingga detik ini pun aku masih menjadi hamba yang culas, yang tak puas bahkan sering mengeluh dan rusuh atas jalan cerita-Nya. Ya, aku masih mengeja, dengan terbata.

Ya Rabb, ajari aku menjadi ikhlas dalam setiap langkah, agar hatiku tak goyah. Melakukan segalanya karena-Mu, untuk-Mu, dan berharap balasan hanya dari-Mu. Orang-orang berkata itulah sebaik-baiknya ikhlas. Seperti hidup dan.matiku hanyalah karena Allah Taala, begitulah yang kuucapkan dalam setiap shalatku, tapi aku masih saja terperangkap dunia, mungkin aku tak khusyuk, tak juga ikhlas mengucapkannya.

Rabb, ajari aku ikhlas, meski ikhlasku nanti tak seikhlas Zulaikha melepas Yusuf, tak seikhlas Hajar ditinggalkan Ibrahim di padang gersang. Tak seikhlas Yaqub kehilangan Yusuf, tak seikhlas Ibrahim mengorbankan Ismail, tak seikhlas Ayub dengan penyakitnya, dan tak seikhlas Fatimah dengan cintanya yang diam pada Ali. Sungguh meski aku tak bisa seikhlas mereka, ajari aku bisa membaca ikhlas, dengan makna dan pengamalannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Besok Aku Mati~

Mempercayai atau Dipercaya?

Cinta Ala Zulaikha