Tik Tok Tik Tik
Tik tok. Tik tok. Waktu brdetak, menggilas detik yang berlari gesit. Tik tik tik. Gemericik air membelai tanah yang gersang, berulangulang. Aku sibuk melihat ke luar rumah, menatap setiap rintiknya yang jatuh, sesekali kuperhatikan jam dinding yang lusuh.
Apa persamaan waktu dan hujan? Tanyaku pada bayangan. Dia menjawab "menunggu". Entah yang mana yang lebih menyakitkan, mempercayai bayanganku atau mengabaikannya. Aku tersenyum kecut. Menunggu ya? Ia berbisik lirih. "Bukankah kau menghabiskan waktumu untuk menunggu? Hujan pun kau nikmati dengan menunggu?"
Aku tersenyum. Tes tes. Rintiknya jatuh dipipiku. Aku tersenyum sambil menangis, atau mungkin menangis sambil tersenyum. Benar. Dia benar. Sangat benar. Menunggu adalah persamaan keduanya.
Tik tok. Tik tok. Waktu mulai menajamkan dentingnya. Tik tik. Tik tik. Hujan baru saja pergi dengan dinginnya. Aku menatap langit yang masih kelabu, seperti hatiku yang abu-abu.
Aku bertanya lagi, apa persamaan waktu dan hujan. Bayanganku menatapku sendu. Dia menjawab "rindu". Aku sekali lagi tersenyum kecut. Aku bertanya bagaimana dia tahu? Dia menjawab tegas, bahwa aku menghabiskan waktu untuk memupuk rindu, dan hujan kuhayati karena rindu yang kian tak terobati.
Aku tersenyum, kali ini tanpa tangisan. Aku berkata pada bayanganku. Bukankah menunggu dan rindu itu sepaket? Kita menunggu seseorang karena merindukannya, dan kita merindukan seseorang karena menunggu kehadirannya. Dia hanya diam tak berkata sepatah kata pun.
Tik tok. Tik tok. Tik tok. Tik tok. Tik tok. Tik tok. Tik tok. Tik tok. Kali ini hanya suara jam dinding yang kudengar. Ah, waktu dan hujan memang sama dalam hal menunggu dan rindu. Tapi keduanya tak sama. Hujan bisa berhenti kapan saja, tapi waktu selalu bergerak tak peduli apapun yang ada, menggilas semua begitu saja. Dan yang jadi masalah adalah menunggu dan rindu itu mengikuti waktu, bukan hujan. Hujan hanya bagian lain yang menguatkan rasa itu. Menunggu dan rinduku, yang mulai candu.
Tik tok. Waktu bergulir, hatiku terkilir. Pincang tak bisa menyusuri jalan panjang yang berlubang. Aku hanya bisa diam meradang dalam gelap, kosong dan hampa kini hatiku tak lebih dari gudang. Senyap, pengap dan terbuang.
Komentar
Posting Komentar