Sang (Ada)m
Ketika senyum terlukis di wajahmu, siapa yang tahu luka berdarahmu? Sebagaimana hadir adalah takdir, kepergian pun rupa perjanjian. Namun, aku masih mencari mata sang adam yang mampu menerjemahkan rasa tanpa perlu berkata. Lalu pada matanya akan aku titipkan mimpiku. Hingga sewaktu lelah menyerang, melalui matanya aku temukan jalan pulang. Pulang pada diriku, pada mimpiku juga padanya yang kurindu, tanpa perlu takut digilas waktu.
Aku membutuhkan matanya untuk menitipkan impianku. Hingga lelah menyerang, hanya dengan menatap matanya aku mampu tersenyum lega, semua baik-baik saja.
Aku membutuhkan tangannya untuk menggenggam harapanku. Hingga menyerah datang, dengan genggaman hangatnya aku bisa bangkit lagi, sesakit apapun caraku jatuh, semua bisa kulalui sungguh.
Aku butuh kakinya untuk mengantarkan impian dan harapan menuju kenyataan. Hingga patah arang, dia tetap menemaniku dan menguatkan langkahku. Dalam perjalanan melelahkan dia berbisik padaku "sedikit lagi, kamu pasti bisa dan kamu mampu! Jangan menyerah!" Hanya itu, hanya itu yang inginku dengar.
Duhai sang adam, masihkah kau berkelana mencariku? Apa kau sedang dalam perjalanan menemukanku? Atau kau sudah sedekat api unggun dengan kayu, yang mungkin saja takku sadari hadirmu.
Menebak setiap detak jantung, menyamkan debarannya. Bukankah jika seirama maka kita serasa? Tapi sayangnya, detak jantungku selaras dengan detik jam dinding yang nyaring dalam hening.
Aku pun mencoba membaca setiap tanda semesta. Mencatat semua yang mungkin terlewat. Ah rupanya kau masih tak muncul juga, aku hanya tersenyum simpul, sepertinya aku mulai gila. Gila karena imajinasiku yang berharap bertemu dengan mata teduh pemilik sekotak peti bertulis mimpi. Yang pada matanya sungguh aku bisa melihat diriku, mimpiku dan rinduku.
Hai, sang adam? Kau ada di mana? Aku sedang menunggumu. Datanglah secepat dan sebisamu. Aku sungguh menunggumu, aku butuh bantuanmu. Mewujudkan mimpiku, menguatkan langkahku. Menggenggam erat tanganku, dan berkata kau selalu bersamaku tak peduli apapun, kau tetap akan menemaniku.
Aku membutuhkan matanya untuk menitipkan impianku. Hingga lelah menyerang, hanya dengan menatap matanya aku mampu tersenyum lega, semua baik-baik saja.
Aku membutuhkan tangannya untuk menggenggam harapanku. Hingga menyerah datang, dengan genggaman hangatnya aku bisa bangkit lagi, sesakit apapun caraku jatuh, semua bisa kulalui sungguh.
Aku butuh kakinya untuk mengantarkan impian dan harapan menuju kenyataan. Hingga patah arang, dia tetap menemaniku dan menguatkan langkahku. Dalam perjalanan melelahkan dia berbisik padaku "sedikit lagi, kamu pasti bisa dan kamu mampu! Jangan menyerah!" Hanya itu, hanya itu yang inginku dengar.
Duhai sang adam, masihkah kau berkelana mencariku? Apa kau sedang dalam perjalanan menemukanku? Atau kau sudah sedekat api unggun dengan kayu, yang mungkin saja takku sadari hadirmu.
Menebak setiap detak jantung, menyamkan debarannya. Bukankah jika seirama maka kita serasa? Tapi sayangnya, detak jantungku selaras dengan detik jam dinding yang nyaring dalam hening.
Aku pun mencoba membaca setiap tanda semesta. Mencatat semua yang mungkin terlewat. Ah rupanya kau masih tak muncul juga, aku hanya tersenyum simpul, sepertinya aku mulai gila. Gila karena imajinasiku yang berharap bertemu dengan mata teduh pemilik sekotak peti bertulis mimpi. Yang pada matanya sungguh aku bisa melihat diriku, mimpiku dan rinduku.
Hai, sang adam? Kau ada di mana? Aku sedang menunggumu. Datanglah secepat dan sebisamu. Aku sungguh menunggumu, aku butuh bantuanmu. Mewujudkan mimpiku, menguatkan langkahku. Menggenggam erat tanganku, dan berkata kau selalu bersamaku tak peduli apapun, kau tetap akan menemaniku.
Komentar
Posting Komentar