Deadliness


Waktu. Selalu bergerak maju, tak peduli lukamu juga perasaanmu. Kita semua tahu, bahwa setiap hal memiliki tenggat waktu. Tak peduli seberapa kuatnya dirimu, kau akan kalah dihabisi waktu.

Seperti sebuah kalimat bijak dari Tere Liye, "Ketika sang waktu menghabisi segalanya, bukankah semua manusia sama?" Ya, kita semua sama. Mati. Lalu apakah kau tahu berapa lama usiamu? Faktanya, menerka maut tak seperti memiliki kuota internet yang bisa kita periksa kapan berakhirnya. Masih berani sok jagoan? Sok jadi pahlawan, padahal menolong diri sendiri saja tak mampu. Bukannya sinis, hanya merasa ironis, banyak sekali orang-orang yang berlagak menjadi segalanya padahal sejatinya ia tak punya apa-apa, dan bukan siapa-siapa. Kita adalah manusia, kita semua sama di hadapan kematian. Pada akhirnya satu-satunya yang kita bawa saat mati, hanya kain kafan bukan?

Setiap hal di dunia memiliki batas. Bahkan pakaian yang kongkret pun ada yang dibuat dalam edisi terbatas. Apalagi sesuatu yang abstrak, seperti jiwa. Jiwa memiliki batas, nyawa yang direnggut dari tarikan nafas sebagai akhirnya. Pernah tidak kita berpikir bahwa saat bernafas mungkin itu tarikan nafas terakhir yang kita punya? Tapi sampai saat ini masih ada denyut nadi yang menandakan kita belum mati. Bukankah kita harus bersyukur atas nafas yang belum direnggut, karena belum bertemu deadliness-nya?

Karena semua hal memiliki batas dan tenggat waktu, itu berarti segala sesuatu di dunia ini bersifat sementara. Temporer, bukan permanen. Setiap hal memiliki masa, saat dia ada dan saat dia binasa. Hari ini bahagia, untuk besok berduka, atau sebaliknya. Saat ini kau sendiri, untuk besok berdua sehidup semati. Maka kenapa kita harus menumpahkan air mata sampai berdarah untuk sesuatu yang sebenarnya bukan milik kita? Mengapa kita menjadi egois mendapatkan sesuatu yang sejatinya bukan milik kita? Dan kenapa kita harus jatuh bangun mempertahankan sesuatu yang sebenarnya bukan milik kita? Aku mengulang 'bukan milik kita' karena kita semua tahu bahwa apapun yang kita punya saat ini, apapun yang pernah kita punya, dan apapun yang akan kita punyai nanti, semua itu adalah titipan semata. Hanya titipan. Bukankah yang namanya titipan, kita tak memiliki hak di dalamnya, bahwa saat titipan itu diambil oleh pemiliknya kita tak boleh protes bahkan tak boleh bersuara.

Sebab waktu dan batasnya, aku percaya kesedihan ini, kesendirian ini, kesepian ini, dan segala luka berdarah di hati ini, akan tiba masanya untuk berakhir. Ada tawa di sana, ada sosok yang menunggu di sana, ada penguat, dan pengobat di sana. Berjalanlah, meski perlahan. Bahkan walau hanya dengan merangkak, teruskan perjalanan, asalkan tak berhenti pasti bisa tiba di sana. Jangan lagi menunda-nunda, membiarkan usang dan terbengkalai segala yang perlu diselesaikan. Jangan sampai tugasmu belum selesai tapi sang waktu sudah mencapai batasnya untukmu.

Atas nama deadliness. Aku serahkan segalanya pada Sang Maha Segalanya. Aku tahu hanya Dia yang kekal, abadi selamanya. Bagian akhir ini, aku tersadar. Bukankah aku seorang deadliner, yang mengerjakan sesuatu memakai The Power of Kepepet. Menunda-nunda, berkata besok masih bisa. Padahal tak ada yang menjamin bahwa aku masih ada sampai hari di mana aku akan mengerjakan tugasku itu. Kali ini aku menampar diri sendiri, dengan tulisanku. Semoga deadliner yang mulai mendarah daging dalam diriku bertemu deadliness-nya. Aku ingin hidup seperti sedang sekarat, bahwa tak ada hari esok, sehingga totalitas dan kualitas yang kuberikan di setiap harinya. Semoga saja. Rabb, berkahi gadis yang masih limbung oleh ketidakpastian dan ketidakjelasan ini. 😢



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Besok Aku Mati~

Mempercayai atau Dipercaya?

Cinta Ala Zulaikha