Terima (Ka)sih.

Hai, selamat berjumpa lagi. Kuharap baik-baik saja. Kesehatanmu, juga hatimu. Apa kabar lukamu? Sepertinya sudah sembuh. Semoga kau sempat membaca tulisan ini ditengah segala kesibukannya yang gila itu. Baru-baru ini aku menerima pesan dari seorang sahabat, dua orang yang patah hati tak akan bisa bersama. Seperti kita bukan? (Sejak kapan jadi kita? Ngarep). Aku malam yang selalu rindu pagi, sedang kamu adalah pagi yang tak ingin malam datang. Mungkin itulah analogi yang paling tepat. Maaf, untuk ke sekian kalinya masih senang menjadikanmu topik tulisan. Entah mengapa semenjak aku terpaku pada sosokmu, kau adalah inspirasi dari tulisanku. Tentu saja kau tak tahu. Dan tak akan pernah tahu. Hari ini izinkan aku mengulasmu sebagai perpisahan tahun baru.

Sebenarnya sudah sangat lama aku ingin menulis ini. Beberapa tahun terakhir, entah bagaimana sosok yang kuanggap biasa saja berubah jadi seorang Superman. Ah, bahkan mungkin dia lebih baik. Sosok yang luar biasa. Sosok yang membuat ku berani bermimpi, tentang hal-hal yang sebelumnya tak berani kuimpikan. Dia yang selalu membuktikan bahwa apapun bisa didapatkan asal bekerja keras dan bersungguh sungguh. Mengenalmu sangat lama, memberiku suatu pemahaman bahwa lelaki ini tak hebat dalam sekejap mata. Banyak duri dan krikil tajam yang telah ia lewati, tapi sungguh senyumnya selalu menguatkan seakan akan berkata "kebahagiaan lahir dari perjuangan". Banyak hal tentang nya yang pada mulanya, takku baca. Malah terabaikan. Karena ya, sama dengan perempuan yang labil di luar sana yang lebih suka bad boy daripada nice guy. Bodoh memang. Tapi aku anggap itu adalah proses. Bukankah kita harus jatuh dulu biar tahu rasanya bangkit? Dan ya, dari sebuah patah hati, aku belajar menata hati. Lalu, entah apa sebenarnya yang dirancang-Nya, dia hadir dengan segala kejutannya. Sampai aku menarik sebuah kesimpulan, bahwa hanya orang bodoh yang tak menyukai nya dan mau menyia-nyiakannya. Tapi sayangnya, aku tak seberani itu memperjuangkannya.

Aku masih dipecundangi perasaan sendiri. Aku tahu, aku terlalu terbawa perasaan. Tukang galau, baperan, melankolis, drama Queen dan sejenisnya. Tapi, aku tak main-main. Aku tahu resikonya menyukai seorang sepertimu. Aku seperti seorang prajurit yang terjebak dalam pertempuran, pasukanku telah terkepung dan tewas, maka hanya aku yang ada di sana masih hidup, aku harus melawan banyak prajurit musuh, kesempatanku hidup hanya 0.1℅ dan yang memusingkan lagi, kalaupun aku menyerah tetap saja aku akan dipenggal.
Baiklah, mungkin perumpamaan itu rumit dicerna. Intinya adalah, memperjuangkan ataupun melepaskan sama saja untukku. Sama sakit dan sedihnya. Karena dari awal, perasaan ini hanya kurasakan sendirian. Sendirian.

Tahu apa kata Kahlil Gibran? Kalau cinta bertepuk sebelah tangan, maka lepaskanlah tanganmu. Aku merasa seperti orang bodoh, apa yang harus ku lepaskan? Sedangkan aku tak pernah menggenggam apapun. Jangankan menggenggam, melihatnya saja tak bisa.
Kadang, ada saat aku benar-benar merindukannya, tanpa basa basi mengirim pesan padanya, pesan pasaran. Tanggapannya seperti biasa, dingin. Acuh, bahkan seringkali tak membalas nya. Aku tak apa-apa. Aku tahu ada banyak hal yang lebih menarik dariku, dan mungkin pesanku adalah pengganggu. Aku ada di urutan ke sekian dalam prioritasnya, atau mungkin aku tak termasuk dalam prioritasnya. Pesimis? Ah, aku hanya realistis. Aku tahu betul, sosoknya seperti apa, tak banyak omong memang, tapi jika itu perlu tentu saja akan penting dibicarakan. Dan fakta membuktikan, bahwa aku tak sepenting itu untuknya.

Ada banyak lagu yang kubenci. Pada awalnya aku biasa saja dengan lagu-lagu itu. Dan lagi-lagi karena dia, aku begitu menyukai lagu-lagu itu. Tapi kemudian lagu-lagu itu menjadi haram kudengar, karena apa? Seperti sebuah mantra sihir yang membuat labu menjadi kereta kencana Cinderella, lagu itu pun merubahku si perempuan yang kata orang seperti tak punya perasaan berubah menjadi seseorang yang akan menangis sesenggukan, dipojok kamarnya sambil memeluk boneka pandanya. Kemudian berkata dengan tegar, pura-pura tegar tepatnya. Ini terakhir kalinya aku menangis mendengar lagu itu. Tapi sungguh, pembohong ulung. Bahkan sampai saat ini, aku tak berani mendengar lagu-lagu itu. Karena selalu saja lagu itu mengantarku padanya, kenangan tentangnya, dan hari bersamanya.

Tak banyak yang tahu tentangnya, hanya beberapa orang. Beberapa orang yang sangat kupercayai. Mereka rela menampung cerita tentangnya, cerita yang seperti kaset rusak. Itu-itu saja. Aku meracau tak jelas, bercerita betapa hebatnya dia, dan betapa bahagianya aku mengenalnya, untuk kemudian berkaca-kaca bahwa betapa tak layaknya aku untuk dia. Begitu saja, setiap harinya. Mungkin mereka sudah bosan dengan semua itu. Sampai kami bersepakat bahwa perempuan yang mendapatkannya adalah perempuan yang sangat beruntung. Lalu dengan polosnya aku berkata, aku yang beruntung bisa jatuh cinta pada seseorang seperti dia. Setidaknya, kali ini aku jatuh cinta pada orang yang memang patut dijatuhi hati. Meski semua itu kupendam sendiri.

Entah, harus berapa waktu yang terlewat agar semua menjadi biasa saja seperti dulu kala. Saat aku memandangnya biasa saja, saat aku tak risau dengan kabarnya, saat aku tak begitu peduli dengan hidupnya, saat aku tak tertarik dengan mimpinya, saat aku tak menganggapnya istimewa, dan saat aku hanya melihatnya sebagai angin lalu. Kali ini, aku percaya satu hal, memulai itu mudah tapi mengakhiri adalah perkara berat. Katanya, kita tak akan benar-benar tahu apakah perasaan kita bertepuk sebelah tangan atau tidak sampai kita mengungkapkannya. Sayangnya, aku tak punya keberanian itu. Bukan gengsi, tapi tahu diri. I'm not his type. I'm not his level. Dia berlari terlalu cepat, aku tak bisa mensejajarkan diri. Saat dia mengambil langkah, aku sudah tertinggal puluhan langkah. Memilikinya dalam mimpi pun aku tak berani. Sungguh tak berani. Karena kekecewaan lahir dari harapan yang dirawat. Aku tak ingin merawat harapan yang bisa menjadi sumber kekecewaan ku. Maka biarlah dia kusebut melalu tulisan. Hanya tulisan.

Terima kasih telah hadir di hidupku. Memberikan warna meski tak selalu terang yang kau torehkan. Terima kasih atas kenangan yang meski tak banyak, tapi membekas sangat. Tawamu, senyummu, raut wajahmu, mimpimu, segala tentangmu biar ku ucap perpisahan pada semua itu. Pergilah, berlalu bersama tahun ini. Jika memang ada keajaiban kita akan bertemu di tahun yang baru. Mungkin tidak tahun depan, tapi pasti suatu saat kita akan bertemu lagi. Entah saat itu, aku masih menunggumu atau mungkin telah ikhlas melepasmu, aku tidak tahu. Hanya saja, aku akan berusaha merelakan bahwa tak semua perasaan bisa berbalas. Dan tentu saja sosok sepertimu harus bersanding dengan sosok yang sepadan denganmu. Hebat dan spesial, sepertinya bukan aku orangnya. Selamat mengejar mimpi, semoga segalanya dipermudah untukmu. Lelaki hebat yang belum tergantikan. Aku selalu mengaminkan mimpimu, meski tak ada aku di dalam mimpi itu. Terakhir, terima kasih btekah memperlakukan ku dengan baik, aku tahu kebaikan itu kau berikan pada semua orang yang ada di sekitar lmu, memang pada dasarnya kau baik. Bukan karena aku istimewa untukmu. Sekali lagi, terima kasih karena mengajar kan aku banyak hal tentang hidup. Tentang perasaan, dan juga tentang perjalanan. Membuatku menjadi sosok lebih baik dan lebih dewasa. Terima kasih, semoga selalu bahagia.

*Tadinya mau buat cerita tentang perjalanan rasa seseorang, dari awal kenal sampai akhirnya tiba di penghujung tahun ini, tapi malah ujung tulisannya kayak gini. Yoweslah. Rapopo. Selamat berteka teki, siapakah lelaki itu? Mungkin kamu, yang sedang membaca tulisan ini. 😄

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jika Besok Aku Mati~

Mempercayai atau Dipercaya?

Cinta Ala Zulaikha